PUBLIC TRUST

Waspada Terhadap Mafia Skincare

$rows[judul]

PUBLIC TRUST.ID , Jakarta -  Waspada "Mafia Skincare"! Ungkap bahaya skincare etiket biru yang beredar bebas di pasaran. Bersama dr. Dyah Novita, kita bedah fakta dan risiko di balik produk perawatan kulit ilegal ini.

Belakangan ini, istilah "mafia skincare" dan "skincare etiket biru" menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, terutama para pecinta perawatan kulit.

Fenomena ini mengacu pada produk skincare yang dijual di pasaran tanpa izin edar resmi dan melibatkan praktik ilegal yang merugikan konsumen.

Dalam berita terbaru, bahkan disebutkan bahwa praktik ini melibatkan oknum dari pihak internal lembaga pengawas obat dan makanan (sumber: Detik Health).

Bersama dr. Dyah Novita Anggraini, artikel ini akan mengulas tentang apa itu skincare etiket biru, apakah produk ini dapat diperjualbelikan secara bebas, ciri-ciri produk skincare etiket biru ilegal di pasaran, serta risiko yang mungkin terjadi jika menggunakannya tanpa pengawasan dokter.

Apa Itu Skincare Etiket Biru?

Skincare etiket biru mengacu pada produk perawatan kulit yang diberi label atau etiket berwarna biru. Umumnya, produk dengan etiket biru adalah produk yang memerlukan resep dan pengawasan dokter dalam penggunaannya.

Produk ini sering kali mengandung bahan aktif yang kuat seperti hidrokuinon, tretinoin, steroid, atau asam retinoat dalam konsentrasi tinggi yang hanya boleh digunakan dengan rekomendasi medis karena potensi efek samping dan risiko yang menyertainya.

Produk skincare etiket biru umumnya termasuk dalam kategori obat-obatan yang disediakan oleh dokter kulit atau klinik kecantikan.

Produk ini diformulasikan khusus untuk kondisi kulit tertentu, seperti hiperpigmentasi, jerawat parah, atau penuaan kulit yang memerlukan intervensi bahan aktif dengan dosis tertentu.

Karena kandungannya yang kuat, produk ini tidak boleh digunakan secara sembarangan dan membutuhkan pengawasan ketat dari dokter.

Apakah Bisa Diperjual belikan Secara Bebas?

Secara hukum, produk skincare etiket biru tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena masuk dalam kategori obat keras atau produk dengan kandungan bahan aktif tertentu yang memerlukan pengawasan dokter.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memiliki peraturan ketat terkait distribusi dan penggunaan produk-produk ini. Hanya klinik resmi, apotek, atau dokter yang memiliki izin khusus yang dapat mendistribusikan skincare etiket biru.

Namun, di pasaran saat ini banyak ditemukan produk skincare etiket biru yang dijual secara bebas tanpa resep atau pengawasan dokter, baik melalui toko online, media sosial, maupun penjualan langsung.

Produk-produk ini umumnya tidak memiliki izin edar resmi dari BPOM dan berpotensi mengandung bahan berbahaya atau dalam konsentrasi yang tidak sesuai dengan standar keamanan.

Fenomena ini sering disebut sebagai "mafia skincare," di mana oknum-oknum tertentu memanfaatkan celah untuk memperjualbelikan produk tanpa izin resmi demi keuntungan pribadi, tanpa memikirkan dampak kesehatan konsumen.

Apakah Bisa Diperjualbelikan Secara Bebas?

Secara hukum, produk skincare etiket biru tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena masuk dalam kategori obat keras atau produk dengan kandungan bahan aktif tertentu yang memerlukan pengawasan dokter.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memiliki peraturan ketat terkait distribusi dan penggunaan produk-produk ini. Hanya klinik resmi, apotek, atau dokter yang memiliki izin khusus yang dapat mendistribusikan skincare etiket biru.

Namun, di pasaran saat ini banyak ditemukan produk skincare etiket biru yang dijual secara bebas tanpa resep atau pengawasan dokter, baik melalui toko online, media sosial, maupun penjualan langsung.

Produk-produk ini umumnya tidak memiliki izin edar resmi dari BPOM dan berpotensi mengandung bahan berbahaya atau dalam konsentrasi yang tidak sesuai dengan standar keamanan.

Fenomena ini sering disebut sebagai "mafia skincare," di mana oknum-oknum tertentu memanfaatkan celah untuk memperjualbelikan produk tanpa izin resmi demi keuntungan pribadi, tanpa memikirkan dampak kesehatan konsumen.



Penulis adalah dr. Dyah Novita Anggraini menyelesaikan Pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan pada tahun 2009. Setelah lulus, dr. Dyah bekerja sebagai dokter IGD di salah satu RS daerah Mampang. dr. Dyah melanjutkan PTT di Puskesmas Gantung, Belitung Timur, di akhir tahun 2009 sampai awal tahun 2011.

dr. Dyah pernah menjadi nominasi Wanita Inspirasi Jalasenastri mewakili Koarmada I di TNI Angkatan Laut. Saat ini, dr. Dyah penuh waktu memberikan Konsultasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) medis


Video Terkait

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)