PUBLIC TRUST , Jakarta - Dalam periode ke dua kepemimpinan era Jokowi , permintaan perpanjangan masa jabatan para kepala desa telah menghasilkan kesuksesan yang signifikan. Langkah ini di tandai dengan di Sah kan nya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 28 Maret 2024 sebulan setelah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Legislatif selesai.
Salah satu aspek penting yang tercakup dalam UU No 03 tahun 2024 Tentang Desa yang baru disahkan adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun. Saat itu memang Kades menjadi Idola dan menjadi ujung tombak bagi banyak pihak untuk memenangkan kompetisi untuk meraih kekuasaan tertinggi. Janji untuk memberikan perubahan dalam RUU No 6 tahun 2014 dalam hal masa jabatan itu terwujud.
Seperti yang tercatat dalam jejak digital dalam coretan sejarah bahwa Pada pertengahan Januari 2023, sebuah gelombang protes menggema di depan Gedung DPR RI, dimana ribuan kepala desa bersatu untuk menuntut perubahan signifikan dalam masa jabatan mereka.
Mereka mendesak agar masa jabatan mereka diperpanjang dari enam tahun menjadi sembilan tahun, meyakini bahwa periode yang lebih panjang akan memberikan mereka kesempatan yang lebih besar untuk mencapai kemajuan dalam pembangunan desa.
Dalam demonstrasi yang dipimpin oleh pra kepala desa dari berbagai wilayah dan berbagai orgasnisasi desa di seluruh Indonesia, para pemimpin desa ini menegaskan bahwa perpanjangan masa jabatan mereka adalah kunci untuk meningkatkan efektivitas dan kontinuitas pembangunan di tingkat lokal.
Tidak hanya itu, pada saat yang sama, anggota Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) juga menyuarakan aspirasi mereka yang mendasar. Mereka mengajukan tuntutan untuk memperpanjang masa kerja hingga usia 60 tahun, serta menuntut peninjauan status mereka sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) atau aparatur sipil negara (ASN). PPDI menekankan pentingnya pengakuan formal dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 5 Tahun 2014 sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada anggota mereka. Meskipun memiliki agenda yang berbeda dari kepala desa, PPDI tetap berjuang untuk meningkatkan kondisi dan perlindungan bagi anggota mereka di tingkat desa.
Seiring berjalannya waktu, upaya untuk merealisasikan tuntutan dari kedua kelompok ini mengalami perkembangan yang signifikan. Badan Legislasi DPR RI (Baleg) secara intensif membahas revisi Undang-Undang Desa, mempertimbangkan berbagai aspek yang diusulkan oleh para pengunjuk rasa dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi ini mencakup pembaruan terkait aspek kesejahteraan aparat desa, perpanjangan masa jabatan kepala desa, dan alokasi dana desa yang lebih besar. Pada Juni 2023, Baleg mengambil langkah konkret dengan setuju untuk meningkatkan besaran dana desa menjadi Rp 2 miliar dan memasukkan perubahan masa jabatan menjadi 9 tahun dalam draf revisi UU Desa Pasal 39.
Kesepakatan ini akhirnya disetujui dalam Rapat Paripurna Ke-14 DPR RI pada 28 Maret 2024, dimana RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan, memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun sesuai dengan keinginan mereka.
Perubahan dalam masa jabatan kepala desa, yang terjadi setelah revisi UU Desa tahun 2024, telah menjadi titik fokus perdebatan yang sengit di masyarakat. Awalnya, masa jabatan kepala desa diatur selama enam tahun dengan batasan tiga periode, sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014. Namun, setelah revisi, masa jabatan diperpanjang menjadi delapan tahun dengan maksimal dua periode. Hal ini menimbulkan berbagai respons dan kritik dari berbagai pihak.
Para pendukung perubahan tersebut berpendapat bahwa masa jabatan yang lebih panjang diperlukan agar kepala desa memiliki waktu yang cukup untuk mengimplementasikan program pembangunan dan membangun hubungan yang kuat dengan masyarakat.
Mereka menganggap kepala desa memiliki peran yang strategis dalam mengelola keuangan desa, mengelola aset, dan memimpin pembangunan di tingkat lokal. Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan dianggap sebagai upaya untuk memberikan stabilitas dan kontinuitas kepemimpinan yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan desa.
Alasan yang cukup menggelikan yang di ucapkan para kades yang sebenarnya hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka di desa selama mungkin tanpa memahami arti demokrasi yang sesungguhnya.
Namun, disisi lain, banyak pihak yang menentang perubahan tersebut. Mereka menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik politik dinasti yang dapat muncul akibat masa jabatan yang lebih panjang.
Dengan memiliki waktu yang lebih lama di posisi kepemimpinan, petahana memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membangun basis kekuasaan dan pengaruh yang sulit ditandingi oleh calon lain. Hal ini dapat mengancam pluralisme politik dan mengurangi peluang bagi kandidat dari luar lingkaran elit untuk bersaing secara adil dalam pemilihan kepala desa.
Sejumlah ahli dan pemerhati demokrasi pun berpendapat , seperti CEO Public Trust Centre Dody Wibisono yang telah mengangkat kekhawatiran serius terkait konsekuensi perubahan UU No 6 Tahun 2014 menjadi UU No 03 Tahun 2024 ini.
Dody menyoroti bahwa masa jabatan kepala desa yang di rubah dari 6 tahun ke 8 tahun pada prinsipnya kembali ke masa jabatan kepala desa pada rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dia juga mencatat bahwa perubahan ini dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari negara Indonesia saat ini.
Contoh konkret dalam sejarah juga menunjukkan bahwa masa jabatan yang terlalu panjang dapat membawa risiko tersendiri. Pada masa Orde Baru, kepala desa diatur untuk menjabat selama delapan tahun dalam satu periode, dengan opsi pemilihan kembali untuk satu periode berikutnya, sehingga maksimum masa jabatan adalah 16 tahun. Dody menyoroti bahwa pada periode itu, pemerintahan cenderung otoriter, sentralistik, militeristik, dan terpusat, dengan upaya penyeragaman di seluruh desa Indonesia.
Dody menambahkan bahwa pengesahan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.Dan ini juga tidak sesuai dengan tujuan dari perjuangan Reformasi 1998 yang menginginkan pembatasan kekuasaan agar terjadi nya siklus kepemimpinan di segala tingkatan mulai dari desa kabupaten kota propinsi dan presiden.
Sebagai sebuah negara demokratis, masa jabatan para pemimpin, termasuk di tingkat daerah, seharusnya diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu lama. Terutama karena Indonesia telah memasuki era Reformasi. Namun, ironisnya, sementara mayoritas pemimpin seperti presiden, wakil presiden, bupati, dan walikota memiliki masa jabatan sekitar 5 tahun, kepala desa, yang wilayah kerjanya lebih terbatas, dapat menjabat hingga 8 tahun dan 2 periode.
Padahal tidak ada urgensinya jabatan kades sampai 8 tahun.Apa lagi perpanjangan masa jabatan ini juga tidak menyertakan pendapat masyarakat desa yang terhampar dari pulau sabang sampai merauke.
Di tengah perdebatan ini serta pro kontra nya, para ahli juga menyoroti konsekuensi politik, sosial, dan ekonomi dari perubahan ini. Salah satu implikasi yang muncul adalah potensi praktik politik dinasti yang semakin memperkuat kendali kelompok atau individu tertentu dalam struktur kekuasaan desa. Dengan masa jabatan yang lebih panjang, petahana memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membangun basis kekuasaan yang sulit ditandingi oleh calon lain. Hal ini dapat mengurangi pluralisme politik dan menghalangi partisipasi masyarakat dalam proses demokratis.
Namun, disisi lain, terdapat argumen yang menyatakan bahwa masa jabatan yang lebih panjang juga dapat membawa manfaat. Kepala desa yang telah lama menjabat memiliki pengalaman dan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi dan kebutuhan desa. Mereka dapat membantu dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang lebih tepat sasaran. Selain itu, stabilitas dan kontinuitas kepemimpinan yang dihasilkan dari masa jabatan yang panjang juga dapat membantu dalam menjaga kondusifitas desa dan kelancaran program pembangunan.
Namun, perlu diingat bahwa kedudukan lama jabatan kepala desa juga memiliki potensi risiko. Stagnasi dan kurangnya inovasi dalam kepemimpinan desa dapat terjadi karena kepala desa yang telah menjabat mungkin terjebak dalam pola pikir dan cara kerja yang sudah lama dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat meningkatkan risiko kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan desa.
Dengan demikian, perubahan masa jabatan kepala desa tidak hanya sekedar masalah teknis atau administratif, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam pada tata kelola pemerintahan lokal, kualitas demokrasi,Siklus kepemimpinan yang langka yang menghilangkan kesempatan bagi generasi muda untuk dapat menjadi pemimpin di desa dan kesejahteraan masyarakat desa secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penanganan terhadap perubahan ini seharusnya harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati, dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat desa. Evaluasi yang cermat terhadap implementasi perubahan ini, serta langkah-langkah untuk meminimalkan risiko dan memperkuat sistem pemerintahan desa, menjadi sangat penting bagi kemajuan dan kesejahteraan desa-desa di Indonesia.
Kami mengusulkan serangkaian langkah penting untuk meningkatkan tata kelola di tingkat desa.
Pertama, konsultasi publik yang melibatkan para ahli, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum sangat diperlukan. Hal ini untuk memastikan bahwa kepala desa yang dipilih memiliki pengalaman, kompetensi, dan kekompetenan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Konsultasi ini akan membantu memperoleh masukan yang beragam, mendukung proses pemilihan yang lebih transparan dan merata.
Langkah Ke Dua adalah mengevaluasi dampak perpanjangan masa jabatan kepala desa perlu dilakukan. Ini penting untuk mengevaluasi keberhasilan kepala desa yang sebelumnya dan menentukan kebutuhan yang perlu disediakan bagi kepala desa yang baru. Evaluasi ini akan membantu mengidentifikasi kelemahan dan keuntungan yang ada, serta menjadi panduan bagi pemilihan kepala desa yang lebih tepat.
Langkah ketiga adalah pembuatan sistem pengelolaan dana desa yang lebih transparan dan akuntabel. Sistem ini sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Dengan sistem ini, dana desa dapat digunakan secara tepat dan efisien, sementara kepala desa bertanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut.
Langkah Ke Empat yaitu mengatur ulang proses pemilihan kepala desa untuk mencegah dominasi politik dinasti adalah langkah penting. Ini akan memastikan bahwa proses pemilihan kepala desa berlangsung secara transparan, merata, dan berbasis pada kompetensi calon. Reformasi proses ini akan membantu membentuk kepala desa yang lebih profesional dan kompeten.
Langkah Ke Lima Kami menegaskan bahwa penegakan hukum yang keras terhadap praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi di tingkat desa sangatlah penting. Ini untuk memastikan bahwa hak asasi semua orang di desa dijamin. Penegakan hukum yang tegas akan mengurangi praktik-praktik tersebut, serta memastikan bahwa kepala desa dan pengurus desa lainnya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan tepat dan efisien. Langkah-langkah ini akan membantu menciptakan lingkungan pemerintahan yang lebih adil dan berintegritas di tingkat desa.
Saat ini penegakan hukum terhadap penyelewengan anggaran dan penyalah gunaan kekuasaan di desa oleh KPK Kejaksaan dan Kepolisian masihlah dalam kategori penuh toleransi.
Bahkan Jaksa Agung Republik Indonesia Prof DR ST Burhanuddin sendiri pernah memberikan arahan kepada seluruh jajaran nya agar tidak langsung memenjarakan para kepala desa.Jaksa Agung meminta jajarannya agara memberikan kesempatan bagi para kepala desa untuk dapat terus membenahi dan meningkatkan kapasitas diri agar terhindar dari jerat hukum karena ketidak pahaman mereka dalam mengelola anggaran dan kekuasaan. Kejaksaan malah ikut berkontribusi dengan melahirkan program Jaga Desa yang di sepakati oleh Kementrian Desa.
Jika Kejaksaan tidak bertoleransi kemungkinan besar lebih dari 50% para kades ini bahkan bisa ber status Tersangka dan Terpidana. Belum lagi dari Kepolisian dan KPK ini bisa memberikan presentase lebih besar.Dan ini semua terjadi karena kurangnya Kualitas Kapasitas SDM Desa.Semakin lama kekuasaan itu di pegang maka semakin besarlah potensi kerusakan yang terjadi di pemerintahan desa.
Dan semua ini akhirnya merugikan masyarakat desa itu sendiri. Seperti kasus Pagar Bambu di Desa Kohod kasis Pagar Laut Tanggerang yang di duga terjadi penyalah gunaan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompok nya yang akhirnya merugikan masyarakat nelayan di desa tersebut.
Kasus ini bahkan harus di selesaikan dengan perintah presiden karena banyak pihak penguasa yang terkait dengan kasus pagar bambu laut itu ujarnya.
Jadi bukan tidak mungkin nantinya akan ada kelompok masyarakat yang akan menggugat kembali ke Mahkamah Konstitusi terhadap Perubahan Ke Dua UU No 6 tahun 2014 yang kini menjadi UU No 03 Tahun 2024.
Dan jika Judicial Review itu di lakukan saat ini maka kemungkinan nya untuk di setujui sangatlah besar. Karena baru baru ini ada sekelompok mahasiswa dari UGM yang berhasil mematahkan kekuatan politik yang selama ini menjadi begitu perkasa terhadap penentuan calon presiden dengan Presidential Treshold 20 % dari suara sah. Begitu digdayanya aturan itu menjadikan Calon Presiden akan sulit jika tidak di dukung oleh koalisi partai untuk mendapatkan tiket 20% itu.
Namun apa yang terjadi , Mahkamah Konstitusi sepertinya kembali ke khitahnya menjadi Mahkamah yang menegakkan Kontitusi dengan sesungguhnya. Kelompok Mahasiswa dari jogja itu berhasil mematahkan Tradisi yang telah di buat oleh Gengster Legislatif.Dimana empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil memenangkan Gugatan Penghapusan Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka diantaranya Enika Maya Oktavia (21), Tsalis Khoirul Fatna (21), Faisal Nasirul Haq (21) dan Rizki Maulana Syafei (21).
Keempat mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa program studi Hukum Tata Negara (Siyasah).
Saat itu Enika, sebagai salah satu penggugat pertama mengatakan bahwa keputusan untuk mengajukan gugatan setelah Pilpres 2024 adalah untuk memastikan kajian yang dilakukan oleh MK bersifat akademis dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik. Dia mengakui, banyak pihak yang menanyakan mengapa uji materi diajukan bukan sebelum pilpres. Permohonan mereka tercatat diterima di kepaniteraan MK pada 23 Februari 2024 atau 9 hari usai pemungutan suara Pemilu 2024.
Menurut Dody Keberhasilan ini sangat mengapresiasi banyak pihak dimana perjuangan keempat mahasiswa tersebut menjadi bukti bahwa tidak ada yang tidak mungkin. menambahkan, hal tersebut menunjukkan bahwa generasi muda saat ini memiliki kemampuan untuk menjaga marwah demokrasi di Indonesia.
Dan memang pada saat itu Pihak Fakultas memberi ruang sekaligus memfasilitasi yang merupakan bagian dari kreativitas mahasiswa yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi. Bahkan dengan keberhasilan perjuangan mereka mampu menjadi tonggak monumental perubahan bangsa di masa depan.
Maka kita tinggal menunggu saja apakah perubahan kedua UU No 6 Tahun 2014 yang di setujui DPR dan menjadi UU No 03 Tahun 2024 Tentang Desa ini akan kembali di gugat oleh para pejuang muda demokrasi untuk dapat merapikan tatanan demokrasi dan masa jabatan kepala desa serupa dengan masa jabatan bupati walikota gubernur dan presiden juga sama dengan masa jabatan para legislatif senayan yaitu 5 tahun.
Mampu atau tidak mampu yang jelas 5 tahun adalah masa perjuangan untuk mewujudkan janji janji.Jika teruji dengan janji maka akan di perpanjang 5 tahun periode terakhir agar siklus kepemimpinan berjalan di desa. Hakikat dari demokrasi adalah pembatasan kekuasaan bukan perpanjang kekuasaan pungkas dody.
Tulis Komentar